Perdebatan soal dosa asal dan dosa aktual terus bergulir hingga kini. Sebagian orang mengatakan bahwa dosa orang ditanggung oleh orang itu sendiri, bukan oleh orang lain, apalagi dosa itu turun kepada keturunan hingga tak terbatas (dosa turunan/dosa asal). Sebab dosa adalah aktifitas aktif yang aktual. Sementara sebagian lagi setuju dan percaya bahwa dosa Adam adalah represtasi manusia yang berdoa. Implikasinya, karena dosa yang diperbuat Adam dan Hawa, maka manusia menjadi keluar dari posisi, status, dan maksud awal Allah kepada manusia. “Konflik” dan diskursus teologis seperti ini akan ada dan terus ada, kendati beberapa teolog pernah membuat sebuah pendapat dan berupaya untuk menjembatani keduanya.
Adalah Nathaniel William Taylor, seorang teolog Amerika yang lahir pada pada 1786 di Connecticut, mengupayakan sebuah teologi untuk menjadi penengah dua kutub yang berbeda ini. Menurut teolog yang pernah menyecap pendidikan di Yale Divinity School ini, betul semua manusia telah terhilang, tapi bukan karena dosa Adam (dosa asal) yang kemudian diperhitungkan. Kendati orang berbuat dosa, mereka masih memiliki kekuatan untuk memilih untuk tidak berbuat. Karena itu orang berdosa, kata Taylor, secara moral bertanggung jawab atas dosa mereka sendiri, bukannya “diperbudak” oleh dosa Adam - mereka dapat memilih jalan yang benar.
Pendapatnya itu adalah bentuk penolakan Taylor terhadap pemikiran Determinisme Calvinis lama, yakni gagasan bahwa seluruh keberlangsungan alam semesta telah diatur sedemikian rupa dan ada dalam tanggungjawab Allah. Bagi Tylor determinisme akan mengekang cita-cita kelestarian kebebasan manusia. Apalagi dia melihat bahwa determinisme yang bertentangan kebebasan, dengan demikian adalah bentuk tindakan tidak bermoral. Suatu kesalahan besar mengondisikan Tuhan sebagai tidak bermoral, berlawanan dengan substansi Tuhan dengan kasih-Nya yang sempurna.
Penolakan tentang paham determinisme oleh Tylor ini tentu saja diikuti oleh perubahan lebih lanjut terhadap doktrin Calvinis lainnya seperti Wahyu, Depravity Manusia, Kedaulatan Allah, Kurban Tebusan Kristus dan Regenerasi. Perubahannya itu membuat Taylor lebih dikenal sebagi pencetus teologi baru yang dinamakan " Teologi New Haven ".
Dengan pendekatan barunya, pandangan bahwa Kristus telah mati di atas kayu salib sebagai korban dosa langsung untuk dosa-dosa orang-orang Kristen, ditolak oleh Tylor. Sebaliknya, ia justru mengajarkan bahwa kematian Kristus adalah sarana (kemampuan/potensi) yang Allah berikan untuk mendorong orang-orang berdosa bebas berbalik dari dosa mereka. Ini adalah anugerah Allah yang memberikan manfaat dan keistimewaan bagi kehidupan saleh manusia, kata tylor.
Terkait dengan Kedaulatan Allah, Tylor memegang rumusan, bahwa Allah tidak menentukan nasib semua orang melalui pemilihan. Dia juga tidak menentukan peristiwa di dunia ini (fatalistik). Sebaliknya ia telah menciptakan alam semesta moral dan akan menilai penghuninya. "Tuhan mempromosikan tindakan moral dengan sistem sarana, dan berakhir di mana manusia dapat merespon seruan etis untuk bertobat."
Modifikasi teologi Calvinisme yang dilakukan Taylor, kendati menggunakan pengaruhnya sebagai Profesor Teologi Didaktik di Yale pada tahun 1822, memantik kemarahan banyak pihak, banyak diantaranya justru menyatakan bahwa Taylor tidak Alkitabiah, menjauh dari kebenaran, tidak Calvinis sama sekali, tapi lebih kepada Arminian dan bahkan cenderung Pelagian.
Teologi yang diprakarsai oleh Tylor, lebih dikenal dengan teologi New Haven, menyebabkan gereja Congregational di New England menjadi lebih terbuka dan dekat kepada liberalisme teologi. Teologi New Haven bahkan mempengaruhi banyak denominasi arus utama di akhir abad 19 – dan masih dapat dirasakan hingga saat ini. Slawi/ dbs